Sabtu, 02 Juni 2012

SPIRITUALITAS FRANSISKAN: MAKNA KERJA MENURUT FRANSISKUS DARI ASSISI (Oleh: Erick M. sila)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Homo Laborens, manusia adalah mahkluk yang bekerja. Ungkapan ini mau menandaskan bahwa kerja tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia. Kerja merupakan suatu ciri hakiki dari manusia. Kerja merupakan rahmat yang harus dihidupi dan dihayati dalam hidup sehari-hari. Dengan bekerja, manusia mengembangkan dirinya sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Yesus Kristus sendiri telah menunjukkan teladan hidup bukan hanya melalui kata-kata-Nya, melainkan juga melalui karya-karya-Nya. Salah satu tokoh Abad Pertengahan yang mewujudkan penghayatan ini adalah Santo Fransiskus dari Assisi. [1] Santo Fransiskus adalah sosok yang secara konsekuen berusaha meniru cara hidup Yesus Kristus sendiri. Gerakan Fransiskus muncul pada zaman di mana kota sedang berkembang, zaman perserikatan para buruh, zaman para pedagang dan bank-bank. Kaum kapitalis dan para pedagang kaya memainkan peranan penting dalam bidang ekonomi. Mereka menggantikan sistem perekonomian barter dengan sistem ekonomi yang didasarkan pada uang. [2] Kekuatan kapitalis semakin terarah kepada keinginan untuk memiliki tanah dan untuk itu perlu pekerja demi meraih keuntungan. Kaum kapitalis memiliki modal dan tenaga kerja. Dalam abad ke-15 bunga tinggi yang diminta oleh para pemilik bank terhadap rakyat kecil mengakibatkan banyak orang terjerat hutang dan menimbulkan malapetaka besar. [3] Fransiskus sama sekali tidak mengikuti cara pikir zaman itu. Ia memiliki pandangan yang lebih Injili dan lebih “modern” dari pada teman-teman sezamannya. [4] Kerja yang disarankan Fransiskus adalah kerja yang biasa dalam masyarakat sesuai dengan panggilannya. Kerja itu membangun sebuah masyarakat yang antusias yang condong kepada realisasi nilai rohani, etis, intelektual yang unik sebagai anugerah Allah. Fransiskus memiliki pandangan berbeda dengan kaum kapitalis yang hanya memikirkan hasil dan untung. Kerja menurut Fransiskus berdasar pada keberadaan, kualitas hidup, dan bukan untuk persaingan serta memiliki segala sesuatu. Fransiskus mengatakan kepada saudara-saudaranya, “Hendaklah tiap-tiap orang tetap pada ketrampilan dan tugasnya, seperti waktu ia dipanggil”. [5] Fransiskus juga mengizinkan para saudara untuk menjalankan ketrampilan professional “Saudara-saudara yang tahu menjalankan suatu pekerjaan, haruslah bekerja, dan mereka boleh tetap menjalankan keterampilan yang sudah mereka ketahui, jikalau tidak bertentangan dengan keselamatan jiwa, dan dengan pantas dapat dijalankan.” [6] Ajarannya tentang pekerjaan dijelaskan dalam Anggaran Dasarnya [7] yakni Anggaran Dasar Tanpa Bulla Pasal VII: Cara Mengabdi dan bekerja dan Anggaran Dasar Dengan Bulla Pasal V: Cara Bekerja. Oleh karena itu, harus ditanamkan kepada masyarakat, sebab ide kerja ini terinspirasi dari masyarakat. Karena itu, setiap saudara sebenarnya ada dan berada untuk orang lain: mereka hendaknya menjadi “pelawak Tuhan”, [8] mengambil hati banyak orang dan mengarahkannya kepada kegembiraan. Aktifitas para saudara ialah membimbing manusia untuk menikmati hidup sebagai rahmat Allah.
BAB II MAKNA KERJA MENURUT FRASISKUS ASSISI A. Manusia dan Kerja 1. Latar Belakang Biblis Panggilan terhadap manusia untuk bekerja didasarkan pada Kitab Suci khususnya Kitab Kejadian. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Ketika Allah menciptakan manusia – laki-laki dan perempuan [9] - Ia berfirman: “Sungguh amat baik”. [10] Lalu Allah meberkati mereka, dan berfirman: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; taklukkanlah bumi itu, berkuasalah atas ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. [11] Memang perintah untuk bekerja tidak secara eksplisit dinyatakan dalam ayat-ayat Kitab Kejadian tersebut. Tetapi, dari ayat-ayat tersebut kita dapat menemukan perintah yang mengacu pada kerja, yakni perintah yang harus dilaksanakan di dunia sebagai citra Allah. [12] Dengan melaksanakan perintah itu, manusia memerankan Allah yang bekerja. [13] Kerja merupakan pelaksanaan perintah Allah yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Kerja merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk ciptaan yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya, Laborem Exercens. Dalam ensiklik tersebut, ia menegaskan bahwa hanya manusialah yang bekerja dan tidak setiap kegiatan untuk melestarikan hidup disebut kerja. [14] Melalui karyanya, manusia mengisi dan mengembangkan dirinya di dunia. Perintah untuk bekerja juga ditegaskan oleh rasul Paulus, “Tiap-tiap orang harus tinggal dalam pertukangan dan jabatan seperti waktu ia dipanggil”. [15] Kemudian kata sang rasul: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan”. [16] Sebab, Kristus sendiri bekerja dan membaktikan sebagian hidup-Nya bagi kerja tangan pada bangku tukang kayu. [17] “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga”. [18] Oleh sebab itu, kerja adalah tugas mulia yang harus dihayati dalam kehidupan sehari-hari bersama orang lain di dalam Allah. Rahmat manusiawi itulah yang menentukan ciri-ciri batin kerja dan dalam arti tertentu kerja memperoleh hakekatnya. 2. Kerja dan Martabat Pribadi Dengan bekerja manusia mengembangkan diri menjadi manusia yang berguna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi sesamanya. Sebagai pelaksana kerja, manusia tidak seorang diri tetapi demi dan bersama orang lain. Maka, sangatlah penting untuk memperhatikan secara lebih seksama mengenai martabat kerja manusiawi sebagai tugas mulia yang diberikan Allah kepadanya. Allah bermaksud agar kerja memampukan manusia mencapai “kedaulatan” dalam dunia yang kelihatan sebagaimana layak baginya. Maksud Allah yang mendasar dan asli mengenai manusia, yang diciptakan menurut citra-Nya tidak dibatalkan walaupun manusia telah melanggar perjanjian asli dengan Allah. Perintah: “[…] dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu”. [19] Pernyataan ini bukan berarti bahwa Allah membatalkan sabda-Nya, tetapi mau menegaskan bahwa manusia akan selalu berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan berat. Susah payah dalam kerja bisa dan biasa terjadi dan dialami oleh orang yang bekerja dan kadang-kadang memang amat berat untuk dilakukan. Santo Thomas mengatakan bahwa sesuatu yang baik harus dicapai dengan bekerja keras, “Bonum Arduum”. [20] Baik bukan berarti menyenangkan dan berguna, melainkan kerja merupakan sesuatu yang layak atau sesuai dengan martabat manusia. Manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, melainkan juga menjadiakan manusia itu lebih manusiawi. 3. Kerja Sebagai Partisipasi dalam Karya Ciptaan Konsili Vatikan II menegaskan bahwa, manusia melalui kerja tangan maupun tehnologi mengolah alam, harus berusaha agar dapat menghasilkan buah sebagai yang layak bagi umat manusia. Dengan demikian, manusia sadar melaksanakan perintah Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia serta menyempurnakan alam ciptaan dan mengembangkan dirinya. [21] Kerja sebagai partisipasi dalam karya ciptaan Allah nyata dalam kebenaran asasi manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kenyataan itu didasarkan pada Kitab Suci, Kitab Kejadian, yang memuat karya ciptaan Allah dalam bentuk “kerja” yang dilakukan Allah selama enam hari, [22] dan pada hari yang ketujuh Ia beristirahat. [23] Manusia harus memahami bahwa Allah mencipta secara evolutif, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang […]” [24] dan masih meneruskan ciptaan dunia. Pengikutsertaan dalam kerja dapat dihayati sebagai suatu keterlibatan diri secara kreatif bersama dengan Allah, untuk melaksanakan rencana-Nya mengenai dunia dan umat manusia. [25] Dengan bekerja, manusia ikut ambil bagian dalam ciptaan Allah, ikut memenuhi kebutuhan sesama saudara, menyumbangkan kegiatannya demi terlaksananya rencana Allah. B. Kerja bagi Fransiskus 1. Kerja sebagai Rahmat Pemberian Allah Anggaran Dasar dengan Bulla pasal V mengatakan bahwa: Saudara-saudara, yang diberi karunia oleh Tuhan untuk bekerja, hendaknya bekerja dengan setia dan bakti; sedemikian rupa, sehingga mereka sambil mencegah diri dari sikap bermalas-malas yang merupakan musuh jiwa, tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian suci, yang kepadanya harus diabdikan hal-hal lainnya yang duniawi. Dan sebagai upah kerja, mereka hendaknya menerima apa yang merupakan kebutuhan hidup, baik bagi diri sendiri maupun bagi saudara-saudaranya, kecuali uang berbentuk apa pun; itu pun harus dengan sikap rendah, seperti seharusnya bagi hamba-hamba Allah dan penganut kemiskinan yang tersuci. Kerja merupakan rahmat karena manusia dan seluruh kegiatannya, sejak awal mula, diterima sebagai “rahmat gratis Allah”. [26] Fransiskus mengatakan “Saudara-saudara diberi karunia oleh Tuhan untuk bekerja”. [27] Dalam hal-hal lain, Fransiskus mengunakan karta ‘gratia’ (diterjemahkan ‘karunia’ atau ‘rahmat’; juga syukur). [28] Konsep original dan Injili kerja sebagai rahmat, harus dipraktekkan dalam kehidupan nyata, sebab kekayaan kerja itu sebagai anugerah Allah. “Fransiskus dan para saudara mengarahkan diri pada pekerjaan baik dan penuh damai; mereka tidak melakukan sesuatu yang bertentangan atau menimbulkan skandal, melainkan selalu mengusahakan atau melakukan hal-hal yang suci, tulus dan berguna”. [29] Nilai kerja sebagai rahmat selalu ditempatkan di hadapan kemiskinan, dianggap sebagai anugerah kelayakan bagi manusia dan dilakukan bagi orang lain. [30] Dalam memahami kerja sebagai rahmat, Fransiskus menempatkan sesuatu yang lebih tinggi yakni hubungan antara kerja dan doa. Para saudara “hendaknya bekerja dengan setia dan bakti sedemikian rupa sehingga mereka tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian suci”. [31] 2. Mengabdi Tuhan dan Sesama Sejak awal ciptaan, Allah telah menugaskan manusia untuk bekerja. Ketika manusia ditempatkan oleh Allah di taman Eden, tugas itu telah diberikan yakni untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. [32] Tuhan Yesus dan para murid telah memberikan teladan kepada kita untuk bekerja. “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga”. [33] Fransiskus lewat teladan Yesus Kristus, merasa senang atas irama yang indah dari gesekan kayu pepohonan, serta gesekan batang gandum pada kaki tatkala ia bekerja. [34] Fransiskus tidak senang melihat kekacauan dan ketidakteraturan dalam alam ini. Maka ia menyingsingkan lengan bajunya, satu per satu batu besar dan kecil disusnnya secara rapi dan teratur. [35] Demikianlah ia menyelesaikan gereja Santa Maria Para Malaikat di Portiunkula. Fransiskus sangat mencintai segala sesuatu yang berkenaan dengan alam ciptaan Tuhan. Melalui pekerjaan manusia mengabdi kepada Tuhan dan sesama, sebab Allah menghendaki agar kita menjadi manusia utuh dan lengkap dengan semua yang khas dan hakiki dalam diri manusia. Dengan demikian, humanisasi dinyatakan, diungkapkan, dan dihidupi sebagai bentuk pelaksanaan kehendak Allah. Maka melalui kerja, konkritisasi cinta atas nilai-nilai kemanusiaan merupakan pemaknaan hidup religius hidup manusia. [36] Kerja dapat dihayati sebagai partisipasi diri secara kreatif bersama Allah, untuk melaksanakan rencana-Nya mengenai dunia dan umat manusia. Dengan bekerja manusia menyumbangkan sesuatu bagi kepentingan bersama atau komunitas. Untuk itu, yang mau dikatakan ialah bahwa lewat kerja manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan pribadinya saja, melainkan untuk kepentingan bersama. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Fransiskus dan para saudaranya biasanya bekerja. Dengan membantu para petani di ladang, mereka memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk mereka sendiri maupun untuk para teman perjalanan mereka. [37] Fransiskus dan para saudaranya hidup dalam kerendahan; mereka tidak mencintai diri sendiri dengan cinta egoistis, melainkan mereka melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya tanpa pandang bulu. [38] Melalui pekerjaan, manusia membangun relasi dengan sesamanya tanpa membeda-bedakan. Kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup seorang diri tanpa orang lain. Maka melalui kerja, manusia melayani sesama sekomunitas sambil mengamalkan cinta kasih Kristus. 3. Kerja dan Ketiga Kaul Religius 3. 1 Kerja dan Ketaatan Kerja merupakan peraturan hidup para saudara yang harus ditaati. Pada bagian penutup Anggaran Dasar Dengan Bulla ditegaskan bahwa: Karena itu, tak seorang pun dibenarkan melanggar piagam peneguhan kami ini atau berani mencoba berbuat demikian, maka hendaklah orang itu mengetahui, bahwa ia akan tertimpa murka Allah Yang Mahakuasa serta rasul-Nya, yang kudus Petrus dan Paulus”. [39] Dari bagian penutup Anggaran Dasar ini mau menegaskan bahwa setiap peraturan yang telah termuat di dalamnya, harus ditaati oleh para saudara. Temasuk di dalamnya perihal kerja dan ketentuan-ketentuannya. Fransiskus menganjurkan kepada para saudaranya untuk mengerjakan pekerjaannya dengan setia dan bakti, serta tunduk dan taat kepada semua orang. Dalam melaksanakan suatu pekerjaan, para saudara hendaknya menjadi “lebih rendah dan tunduk kepada semua orang yang tinggal di rumah itu”. [40] Melalui ketaatan yang suci, para saudara memberikan diri sebagai tebusan dengan melakukan pekerjaan yang baik dan berguna untuk keperluan para saudara dan tidak melakukan sesuatu pun di atas perintah-perintah ketaatan. [41] Para saudara bahkan sudah siap melaksanakan perintah itu sebelum perintah itu selesai diucapkan. Perintah Fransiskus mereka laksanakan dengan senang hati bagaikan perintah dari Tuhan sendiri. 3. 2 Kerja dan Kemiskinan Pekerjaan para saudara dalam Anggaran Dasar dilihat sebagai fungsi persaudaraan dan kedinaan yakni hendaknya para saudara bekerja sebagai hamba di rumah-rumah orang kaya tanpa mengejar karier, kedudukan atau jabatan dalam masyarakat. Mereka hendaknya menjadi “lebih rendah dan tunduk kepada semua orang yang tinggal di rumah itu”. [42] Pada abad pertengahan, orang yang bekerja adalah orang yang sungguh-sungguh miskin sehingga amat tergantung kepada orang lain. [43] Fransiskus menganjurkan kepada saudara-saudaranya untuk melakukan suatu pekerjaan seperti orang-orang miskin yang tidak memiliki apa-apa, tidak mengejar suatu jabatan, melainkan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memilih jenis pekerjaan, ia juga menganjurkan untuk memilih pekerjaan tangan yang sederhana dan lebih rendah. Misalnya, membantu para petani di ladang, membantu waktu panen, mencari dan memotong kayu bakar, serta membantu di panti-panti orang kusta, [44] seperti yang telah dilakukan oleh para saudara. Kami tidak terpelajar dan menjadi bawahan semua orang. Aku bekerja dengan tanganku (waktu itu), dan (kini pun) aku mau bekerja; juga aku sungguh-sungguh menghendaki agar semua saudara lainnya melakukan pekerjaan tangan sebagaimana layaknya. Mereka yang tidak menguasai salah satu pekerjaan, hendaklah belajar. [45] Para saudara tidak boleh mengerjakan suatu pekerjaan yang merugikan jiwanya dan yang tidak sesuai dengan cara hidup. Pekerjaan yang dimaksudkan oleh Fransiskus adalah pekerjaan yang tidak berhubungan dengan uang dan kekuasaan. Pekerjaan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Upah yang diterima juga bukan berupa uang melainkan berupa barang atau makanan. Sebab katanya “Uang bagi hamba-hamba Allah, hai saudara, tidak lain dari pada setan dan ular berbisa”. [46] Demi cinta akan kemiskinan yang suci, maka hamba Allah Yang Mahakuasa lebih suka hidup dari sedekah daripada sumbangan yang ia terima begitu saja. Dalam hal kemiskinan, ia ingin melebihi hal-hal lain dengan menganggap dirinya lebih dina dari semua. [47] Saudara semuanya harus berusaha mengikuti kerendahan hati dan kemiskinan Tuhan kita Yesus Kristus […] Dan bila perlu, mereka hendaknya pergi meminta sedekah. Janganlah mereka, tetapi lebih baik mereka ingat, bahwa Tuhan kita Yesus Kristus, Putera Allah yang hidup dan yang Mahakuasa, membuat wajah-Nya bagaikan batu yang keras dan tidak pernah merasa malu; ia menjadi miskin, dan penumpang, dan hidup dari sedekah, baik Dia sendiri maupun Santa Perawan Maria serta murid-murid-Nya. [48] Fransiskus menganjurkan dengan keras bahwa meminta sedekah hanya boleh dilakukan apabila imbalan kerja tidak mencukupi. Apabila seseorang melakukannya pada saat tidak membutuhkan, maka dia menipu orang miskin yang berhak atas sedekah. [49] Tentang hal ini ia pernah berkata: “Saya tidak pernah menjadi seorang pencuri, yaitu dari derma, yang merupakan warisan orang-orang miskin. Saya selalu menerima kurang dari pada yang saya perlukan, supaya jangan merampas bagian dari orang-orang miskin yang lain”. [50] Melakukan hal semacam itu adalah pencuri. Sedekah yang diterima dari seseorang harus dipandang sebagai warisan orang miskin sebab kepada mereka diberikan dengan dasar cinta kasih. 3. 3 Kerja dan Kemurnian Kemurnian menurut Fransiskus berarti hati dan pikiran bebas dari segala ikatan duniawi dan dalam segala bidang kehidupan terarah sepenuhnya kepada Allah. [51] Maka hamba Allah menganjurkan bahwa orang harus menjauhkan diri dari pengangguran, sebagai sumber segala pikiran jahat. [52] Lagi dikatakan: “Aku menghendaki, supaya saudara-saudaraku bekerja dan berjerih payah, agar mereka jangan sampai menganggur dan melantur dengan pikiran dan percakapan yang tidak patut “. [53] Alasan asketis dari kerja sedikit saja disinggung dalam Anggaran Dasar daripada arti sosial pekerjaan. Maka pada bagian ini, alasan asketis mendapat perhatian lebih yakni “mencegah diri dari sikap bermalas-malas yang merupakan musuh jiwa”. [54] Fransiskus mengajarkan agar dalam mengerjakan sesuatu tidak “memadamkan semangat doa dan kebaktian suci”. [55] Maka dengan tegas Fransiskus mengatakan bahwa seorang religius harus lebih mengutamakan doa. Tidak seorang pun dapat mencapai kesempurnaan di dalam Allah tanpa rahmat berdoa. [56] 4. Kerja Mengatasi Kemalasan 4. 1 Kerja Sebagai Bentuk Pertobatan Kerja sebagai bentuk pertobatan telah ditunjukkan Fransiskus sendiri melalui cara hidupnya. Dalam riwayat hidup, Thomas dari Celano menceritakan bagaimana Fransiskus sejak masa kecil sampai berumur kira-kira dua puluh lima tahun, menyia-nyiakan waktunya secara menyedihkan. Misalnya, menyanyi keliling kampung, suka pamer, suka mencari kemuliaan sia-sia, lelucon murah dan omong kosong. [57] Fransiskus kemudian sadar dan mulai bertobat. Pekerjaan pertama yang dilakukan Fransiskus pada awal pertobatannya adalah memperbaiki rumah Allah, San Damiano. [58] Fransiskus merasakan depresi yang begitu berat ketika hamba Allah mengenang kembali masa-masa sedih yang ia alami dalam hidupnya. Rasa depresi itu semakin kuat dalam hatinya sehingga ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Maka ia menyingsingkan lengan bajunya dan masuk dalam pekerjaan fisik yang berat. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Fransiskus mulai merasa lega dan tenang. Demikianlah ia membangun Gereja Santa Maria Para Malaikat di Portiuncula. [59] Berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri, Fransiskus membacakannya wasiatnya kepada saudara Leo demikian: “Saudara Leo, hal ini amat penting. Perhatikanlah baik-baik, Tulislah! Aku bekerja dengan tanganku sendiri dan aku menghendaki para saudaraku untuk bekerja dengan tangan mereka sendiri. [60] Saudara Leo dan saudara-saudaranya juga mengisahkan tentang para perampok yang bertobat. Diceritakan juga bahwa setelah para perampok itu bertobat, ada yang masuk ordo dan ada yang berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi dan berjanji untuk makan dari hasil kerja mereka sendiri. [61] Karena begitu tinggi nilai kerja itu, maka Fransiskus menganjurkan kepada saudara-saudaranya untuk menghindari kemalasan. Jika seorang yang malas dihadapkan kepadanya, maka ia menegurnya dengan keras “sepantasnya Tuhan memuntahkan mereka dari mulut-Nya”. [62] Dengan bekerja, seseorang bertobat meninggalkan cara hidupnya yang lama kepada cara hidup yang baru. Sebab, melalui kerja sesorang dapat mengalahkan keegoisan yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, sikap pelayanan dan pengabdian kepada sesama dan kepada Allah dapat diberikan dengan bebas, damai, dan penuh kegembiraan. 4. 2 Kerja Sebagai Teladan Hidup Dalam wasiatnya, Fransiskus juga memberi alasan lain dari kerja yakni memberikan contoh [63] atau teladan kepada orang lain sebagai sesuatu yang baik, suci, dan berguna. Dengan bekerja, manusia memberi diri, mengabdikan kemungkinannya, energinya, ketrampilannya, kepada orang lain. Maka, kerja adalah bentuk cinta, bentuk perhatian nyata kepada orang lain. [64] Melalui kerja, manusia sadar bahwa dengan bekerja ia menyerahkan diri kepada sesama dan dunia. Oleh karena itu, setiap orang diberi kesempatan untuk bekerja di bidang yang sesuai dengan bakat-bakat pribadi yang ia miliki dengan penuh kegembiraan. Karena itulah seorang fransiskan ada dan berada bersama orang lain. Para saudara hendaknya mengusahakan sebagai “pelawak Tuhan”, [65] untuk merebut hati orang dan mengarahkannya kepada kegembiraan. Teladan kegembiraan dalam kerja yang kita lakukan sebagai contoh bagi masyarakat, akan menarik banyak orang kepada Allah. Sebab kerja bukan untuk membuat orang menderita, melainkan sebagai sesuatu yang mengembirakan. Kerja sebagai contoh bagi orang lain bukanlah suatu bagian tersendiri dalam Anggaran Dasar, melainkan merupakan suatu segi dari cara hidup fransiskan. Dengan mengikuti teladan Fransiskus, mereka mengungkapkan asal usul hidup mereka maupun seluruh tingkah laku mereka. [66] Cara hidup Fransiskus dan para saudaranya tidak membutuhkan penafsiran karena sudah jelas dengan sendirinya. Dengan demikian, akan menarik setiap orang yang terbuka baginya. Kerja merupakan aspek cara hidup saudara dina. BAB III PENUTUP Kerja merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Oleh sebab itu, setiap orang harus bekerja. Sebab, kerja adalah tugas mulia yang diberikan Allah sendiri kepada manusia sejak awal mula dam merupakan suatu rahmat gratis dari Allah. Rahmat itu harus dihidupi dan dihayati dalah kehidupan nyata bersama dengan orang lain dan terarah kepada Allah. Lewat pekerjaan yang kita lakukan, kita ikut ambil bagian dalam ciptaan Allah untuk mewujudkan misi kerajaan-Nya di dunia. Dengan bekerja, manusia diarahkan kepada kegembiraan dan bukan sebaliknya orang menderita karena pekerjaannya. Banyak orang dewasa ini melakukan pekerjaan yang dinilai berdasarkan hasilnya saja. Jika hal ini terjadi terus-menerus, maka orang akan berlomba-lomba untuk bekerja, dan sering juga mengorbankan orang lain. Padahal manusia harus hidup bersaudara, hidup berdamai dengan sesamanya. Dalam melakukan suatu pekerjaan, manusia tidak lepas dari ikatan dengan Tuhan. Karena itulah Fransiskus mengajak semua orang untuk melakukan pekejaan yang baik serta tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian suci. Itulah arti dan tempat pekerjaan yang sesungguhnya menurut Fransiskus.
CATATAN KAKI: [1]Fransiskus lahir di kota Assisi, Italia tahun 1181 atau awal 1182. Orang tuanya, Pietro Bernardone adalah seorang pedagang kain yang kaya dari Assisi dan Donna Pica, ibunya adalah seorang wanita saleh. Pada usia 25 tahun, Fransiskus meninggalkan segala kemewahan keluarga dan memutuskan hubungan darah dengan orang tuanya dalam sebuah pengadilan terbuka di hadapan Uskup Assisi. Di hadapan Uskup Assisi dan ayahnya serta semua hadirin, ia menanggalkan pakaiannya dan berkata: “Bapa kami yang di Surga”, Dan bukan “bapaku Pietro Bernardone”. Sejak saat itu, ia menjadikan Yesus Kristus yang tersalib sebagai model, dengan memilih hidup miskin sebagai cara hidup. Cara hidup yang radikal dan keras seturut Injil, membuat banyak orang tertarik mengikuti jejaknya. Fransiskus yang berpegang teguh pada Injil, menghayatinya secara ringan, penuh semangat, dan tak kenal lelah. Di gunung Alverna ia mendapat stigmata pada tangan, kaki dan lambungnya, setelah ia berpuasa 40 hari lamanya. Dua tahun seteleh peristiwa stigmata, Fransiskus meninggal dunia pada tanggal 3 Oktober 1226 di Portiuncula Assisi. Ia dimakamkan di Basilica San Francesco, kota kelahirannya Assisi. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1228, oleh Paus Gregorius IX ia dikanonisasi sebagai orang kudus. Makam dan tulangnya masih terawat dengan baik di basilica tersebut sampai sekarang. [Lihat Omer Engelbert, Saint Francis of Assisi: A Biography (Chicago: Franciscan Herald Press, 1965), hlm. 219-223; bdk. Nesta de Robeck, The Life of St. Francis of Assisi (Assisi: Casa Editrice Francescana, 1975), hlm 14; bdk. juga C. Groenen, Fransiskus dari Assisi (Jakarta: Sekafi, 1997), hlm. 12; bdk juga A. Soejitno - Wahyo, Fransiskus dari Assisi (Ende: Nusa Indah, 1976), hlm. 14-17.] [2]N. G. M Van Doornik, Fransiskus dari Assisi: Nabi Masa Kini (judul asli: Franciscus van Asisi, een Profeet voor onze tijd (Jakarta: Vicaria Missionaria OFM, 1977), hlm. 14. [3]Ivan Gorby: Fransiskus dari Assisi (Judul asli: Saint Francois d’ Asisie), diterjemahkan oleh A. Soejitno dan Wahjo (Ende: Nusa Indah, 1976), hlm. 88. [4]Lázaro Iriarte, Panggilan…, hlm. 103. [5]Kajetan Esser, Karya-karya Fransiskus dari Assisi (Judul asli: Die Opuscula des Hl Franziscus von Asisi), diterjemahkan oleh Leo Laba Ladjar (Jakarta: SEKAFI, 2001), hlm. 118. [6]AngTBul VII: 3. [7]Anggaran Dasar Fransiskus terdiri dari Anggaran Dasar Tanpa Bulla dan Anggaran Dasar Dengan Bulla. Anggaran Dasar Tanpa Bulla adalah peraturan hidup Santo Fransiskus yang mendapat bentuk secara defenitif pada sidang Pentakosta tahun 1221. Bagian-bagian dari Anggran Dasar ini sudah lahir antara tahun 1210 dan 1221. Anggaran Dasar Tanpa Bulla terdiri dari 24 pasal dan merupakan dokumen yang amat panjang. Disebut Anggaran Dasar Tanpa Bulla karena Anggaran Dasar ini tidak diteguhkan (dengan Bulla) dari pihak pemimpin Gereja. Sedangkan Angaran Dasar Dengan Bulla adalah Anggaran Dasar yang mendapat bentuk definitif dan diteguhkan dengan Bulla (surat resmi dari tahkta suci) yang disebut Solet Anuere oleh Paus Honorius III, pada tanggal 29 November 1223. Selanjutnya penulis menggunakan singkatan AngTBul dan AngBul. [Lihat Kajetan Esser, Karya-karya…, hlm. 118; bdk. Juga Wahyo, Wejangan…, hlm. 9-38.] [8]Marino Bigaroni, Legenda Perugina: Kumpulan Cerita dari Assisi Karya Saudara Leo dan Saudara-saudaranya Mengenai Santo Fransiskus Assisi (Jakarta: SEKAFI, 2003), hlm. 156. [9]Kej 1:27. [10]Kej 1:31. [11]Kej 1:28. [12]Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens (Dengan Bekerja) (Seri Dokumen Gerejawi no. 39), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995), no. 4; bdk juga Antonius Moa, “Jika Seorang Tidak Mau Bekerja Janganlah ia makan”, dalam Petra, 03/XXVI (September – November 2008), hlm. 13. [13]Kej 1:2. [14]Yohanes Paulus II, Laborem…, hlm. 8. [15]Wahyo, Wejangan…, hlm. 14. [16]2 Tes 3:10. [17]Yohanes Paulus II, Laborem…, hlm. 19. [18]Yoh 5:17. [19]Kej 3:19. [20]Yohanes Paulus II, Laborem…, hlm. 26. [21]Konsili Vartikan II, “Kontitusi Pastoral Tentang Tugas Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Penerangan KWI, 1992), no. 57. [22]Yohanes Paulus II, Laborem…, hlm. 62; bdk juga Kej 2:2; Kel 20:8, 11 dan Ul 12:14. [23]Yohanes Paulus II, Laborem…, hlm. 62. [24]Yoh 5:17. [25]P. Leenhouwers, Manusia Dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia (Judul asli: Men zign, een opgavel Op weg met zichzelf), diterjemahkan oleh K. J Veeger (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 271. [26]Yohanes Paulus II, Laborem…, hlm. 9. [27]AngBul V: 1. [28]Sigismund Verheij, Ke Negeri Orang-orang Hidup: Anggaran Dasar Fransiskus Assisi Untuk Para Saudara Dina (Judul asli: Near het land de levenden Regel Van Franciscus Asisi voor de Minderbroeders), diterjemahkan oleh Nico Syukur Dister (Medan: Bina Media Perintis, 2011), hlm. 181. [29]Thomas dari Celano, St. Fransiskus dari Assisi: Riwayat Hidup Yang Pertama & Riwayat Hidup Yang Kedua (Judul asli: Vita Prima St. Francisci Assisi & Vita Seconda St. Francisco Assisi), diterjemahkan oleh P. J Wahjasudibja (Jakarta: SEKAFI, 1984), hlm. 25. Selanjutnya penulis menggunakan singkatan 1 Cel dan 2 Cel. [30]1 Cel. 41. [31]AngBul V: 1-2. [32]Kej 2:15. [33]Yoh 15:17. [34]Murray Bodo, Fransiskus: Perjalanan & Impian (Judul asli: The Journey and Dream), disadur oleh Paskalis et.al (Jakarta: Sekretariat Keluarga Fransiskan Indonesia, 2002), hlm. 161. [35]M. Bodo, Fransiskus…, hlm. 161. [36]P. Leenhouwers, Manusia dalam…, hlm. 271. [37]S. Verheij, Ke Negeri…, hlm. 180. [38]1 Cel 39. [39]K. Esser, , Karya-Karya…, hlm. 186. [40]AngTBul VII:2. [41]1 Cel 39. [42]AngTBul VII:2. [43]L. Iriarte, Panggilan…, hlm. 104. [44]S. Verheij, Ke Negeri…, hlm. 181. [45]K. Esser, Karya-karya…, hlm. 195-196. [46]Bonaventura, Riwayat Hidup St. Fransiskus: Kisah Besar (Judul asli: Legenda Maior), penulis menggunakan sumber bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Y. Wahyosudibyo (Jakarta: SEKAFI, 1990), hlm. 44. [47]Bonaventura, Karya-karya…, hlm. 44. [48]AngTBul IX: 3, 4-5; bdk. AngBul VI. [49]L. Iriarte, Panggilan…, hlm. 110. [50]M. Bigaroni, Legenda…, hlm. 30. [51]Wahyo, Wejangan…, hlm. 96. [52]Bonaventura, Riwayat Hidup…, hlm. 29. [53]AngTBul VII. [54]AngTBul VII: 10-12. [55]AngBul V. [56]Bonaventura, Riwayat Hidup…, hlm. 64. [57]1 Cel 1. [58]1 Cel 18. [59]M. Bodo, Fransiskus…, hlm. 161. [60]M. Bodo, Fransiskus…, hlm. 161. [61]M. Bigaroni, Legenda…, hlm. 161. [62]M. Bigaroni, Legenda…, hlm. 66-67. [63]K. Esser, Karya-karya…, hlm. 196. [64]P. Leenhouwers, Manusia Dalam…, hlm. 269-270. [65]M. Bigaroni, Legenda…, hlm. 156. [66]S. Verheij, Ke Negeri…, hlm. 184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar