Minggu, 27 Mei 2012

MINGGU PRAPASKAH IV: ANAK MANUSIA YANG DITINGGIKAN (Oleh: Erick M. Sila)

Minggu, 18 Maret 2012 Bacaan I : 2 Taw 36:14-16.19-23 Bacaan II : Ef 2:4-10 Injil : Yoh 3:14-21 Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Injil hari ini mengajak kita untuk ikut mengalami apa yang dirasakan oleh Nikodemus. Dengan demikian, kita dapat mengikuti pembicaraan dengan Yesus sendiri. Yesus menegaskan bahwa hanya orang yang dapat dilahirkan kembali yang dapat melihat kerajaan Allah. Pewartaan Yesus dengan melakukan banyak mujizat tidak lain adalah ingin menyatakan kerajaan Allah. Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana orang setua saya dapat lahir kembali? Tentunya kita tidak boleh berpikir secara harafiah. Yang dimaksudkan Yesus mengenai kelahiran kembali ialah lahir kembali secara rohani. Untuk mengalami bagaimana hidup di dalam roh, jalannya ialah hidup setia di dalam Yesus. Dalam bacaan-bacaan yang baru saja kita dengar, dikatakan bahwa di padang gurun, Musa meninggikan ular tembaga agar orang-orang Israel yang memandang ular tersebut selamat dari pagutan ular-ular tedung yang didatangkan Allah kepada mereka. Allah menimpakan murka ini kepada bangsa Israel karena dosa pemberontakkan mereka. Ular yang ditempatkan di taman Eden merupakan lambang iblis yang menjanjikan kehidupan kepada Adam dan hawa tetapi membawa kematian. Maka, sekarang Yesus, Putera Allah sendiri, melaksanakan lambang itu di salib sebagai tanda kematian. Namun, Ia tidak tinggal saja dalam kematian itu, tetapi Allah telah membangkitkan dia dari antara orang-orang mati. Barang siapa yang memandang Dia dengan penuh kepercayaan akan ikut ambil bagian dalam kemenangan atas maut dan memiliki hidup sejati karena Dia. Kehidupan baru yang berasal dari Allah. Kehidupan itu hanya diberikan karena kematian Putera-Nya yang diangkat tinggi-tinggi di kayu salib. Yesus pun mengatakan bahwa Ia harus “ditinggikan” jika dunia ingin diselamatkan dari maut. Kehidupan ilahi yang diterima manusia berkat kematian Yesus dan hidup setia di dalam iman merupakan dua kekuatan yang menghasilkan keselamatan. Dengan demikian juga jalan bagi setiap orang menuju kerajaan Allah semakin terbuka lebar. Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Orang Isael yang telah dipagut ular harus memandang kepada ular tembaga agar bisa selamat. Manusia yang terluka akibat dosa harus memandang kepada salib Tuhan, menyesali dosanya dan bertobat. Memandang salib Tuhan berarti menyadari apa yang telah kita lakukan selama ini. Dengan demikian, kita berusaha memperbaharui diri dengan memohonkan bantuan rahmat dari Tuhan. Dalam masa prapaskah ini, kita diberi kesempatan untuk melihat kembali, bukan saja melihat Dia yang ditinggikan di salib, melainkan kita harus percaya kepada-Nya agar kita dapat memperoleh hidup yang kekal. Percaya berarti kita harus meninggalkan cara hidup yang lama dan mengenakan cara hidup yang baru di dalam Kristus Yesus. Untuk mencapai tanah air terjanji, kita harus tetap mengarahkan pandan kita kepada salib dengan penuh iman, tetap berharap akan kedatangan-Nya dan tentulah dengan hidup di dalam kasih Tuhan. Pada salib kita memandang kasih Allah. Lewat sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, Yesus menunjukkan betapa besar kasih Allah itu kepada kita umat-Nya. Salib adalah lambang cinta sejati, kerendahan hati, dan rela berkorban. Cinta sejati: “Karena begitu besar cinta Allah akan dunia ini, maka Ia mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal untuk menebus dosa manusia”. Rela berkorban: “Tiada kasih yang lebih besar dari kasih seorang sahabat yang rela mengorbankan diri-Nya demi sahabat-sahabatnya”. Krendahan hati: ”Ia mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia”. Sungguh luar biasa bukan? Percaya kepada Yesus berarti membuka hati, menerima kasih dan kurban Allah. Hanya dengan membuka hati, Yesus dapat tinggal di dalam hati kita. Dengan demikian, kasih dari Yesus sendiri yang ada dalam hati kita, mendorong kita untuk percaya dan mengasihi Allah. Maka kita pun akan semakin berani dan dikuatkan untuk menjadi pewarta-pewarta Injil Allah di tengah dunia. Barang siapa memilih Allah, dia akan diangkat menjadi anak Allah oleh Putera-Nya. sebaliknya, barang siapa tidak memihak Allah, ia sendiri tidak mengambil bagian di dalam Putera. Maka dengan demikian, ia akan jauh dari Allah dan Kerajaan-Nya. Nah…, mana yang kita pilih, memihak Allah atau memihak setan? Marilah kita merenungkan pertanyaan ini selama masa tobat kita. Semoga. AMIN.

MINGGU PRAPASKAH II: PENGALAMAN PUNCAK (Oleh: Erick M. Sila)

Minggu, 4 Maret 2012 Bacaan I : Kej 22:1-2.19a:10-13.15-18 Bacaan II : Rm 18:31b-34 Injil : Mrk 9:2-10 Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, berada di puncak sebuah gunung yang tinggi sungguh menjanjikan sebuah kenikmatan tersendiri. Walaupun dengan susah payah untuk mencapainya, kita tetap berusaha untuk mencapai puncak gunung itu. Keletihan akan sirna apabila kita telah mencapai puncak. Dari ketinggian, kita dapat melihat keindahan alam yang terhampar luas di bawah sana. Keindahan terbentuk akibat percampuran aneka warna dan bentuk. Semuanya berpadu dalam satu keindahan yang menakjubkan. Pengalaman puncak dapat membuat orang tidak mau turun lagi. Hal ini disebabkan karena keindahan, ketenangan dan kesejukan, diberikan di sana tanpa batas. Di puncak orang akan jauh dari segala kegelisahan. Akan tetapi, mau tidak mau kita harus turun lagi. Kita tidak bisah tinggal tetap di atas. Walaupun demikian, pengalaman indah yang singkat itu cukup memberikan kekuatan kepada kita untuk turun dari gunung dan melanjutkan perjalanan hidup di lembah kehidupan. Di atas gunung Yesus berubah rupa disaksikan oleh para murid (Petrus, Yakobus dan Yohanes), dan pakaian-Nya putih bewrkilauan. Warna putih di sini menunjukkan warna kemuliaan Tuhan yang meraja. Penginjil melukiskan Yesus sedang berbicara dengan Musa dan Elia. Musa melambangkan perjanjian antara Allah dan umat-Nya, sedangkan Elia adalah seorang nabi yang memperkenalkan Mesias kepada bangsa Israel (termasuk kita). Keduanya membuka jalan yang kedatangan-Nya menjadi pemenuhan bagi kerinduan mereka. Perubahan rupa Yesus menandakan bahwa zaman baru, zaman kebenaran dan keselamatan telah datang. Itulah kebangkitan: Paskah Yesus. Ketiga murid, Petrus, Yakobus dan Yohanes mendapat anugerah istimewa untuk menyaksikan pewahyuan agung tersebut. Mereka senang, antusias, bahkan mau mempertahankan, dan menikmati terus keadaan tersebut. Tetapi sebtulnya di balik itu, mereka belum menangkap rahasia agung Sang Mesias. Karena dalam suasana ketakutan, mereka tidak tahu lagi apa yang harus mereka perbuat. Maka Petrus berkata: “Rabi… baiklah kami dirikan tiga kemah…”. Kemuliaan Yesus dipahami secara sepihak. Para murid lebih suka mengikuti Yesus yang mulia dari pada berjerih payah bersama Yesus meniti Jalan Salib. Yesus melihat bahwa bagi para murid peristiwa itu tidak akan sia-sia sepenuhnya. Dalam suasan itu terdengarlah suara: “Inilah Anak yang Ku kasihi, dengarkanlah Dia”. Pernyataan inilah yang menbuat pewahyuan itu menjadi kenangan bagi para murid. Para murid tetap mengikuti Yesus sampai selesai. Kemudian Yesus mengajak para murid untuk turun. Yesus menyadarkan mereka bahwa kini saatnya untuk turun, belum saatnya untuk naik. Turun berarti kembali ke dalam hidup sehari-hari yang biasa. Kembali kepada kerendahan seorang Hamba Yahwe yang terus bergerak menuju jalan salib penderitaan-Nya. Untuk itulah Yesus melarang mereka untuk tidak memberitahukan apa yang telah mereka lihat kepada siapapun, karena saat-Nya belum tiba. Inilah pertobatan dan kesaksian perubahan kita. Dengan mendengarkan Allah yang bersabda lewat hidup kita setiap hari, kita berharap makin dekat dengan-Nya. Marilah kita berseru bersama Samuael ketika Allah mendatangi dan memanggilnya: “bersabdalah, Ya Tuhan, hambamu mendengarkan”. (1 Sam 3:9-10). AMIN.

MINGGU BIASA VII: Dokter Ajaib (Oleh: Eric M. Sila)

Minggu, 19 Februari 2012 Bacaan I : Yes 43:18-19.21-22 Bacaan II : 1 Kor 1:18-22 Injil : Mrk 2:1-12 Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, sakit dan penyakit manusia sebenarnya juga tidak lepas dari dosa; dosa ketidakteraturan hidup, kelalaian, penyelewengan, sakit hati, dendam dan sebagainya. Maka tatkala orang lumpuh, dalam bacaan hari ini, dibawa kepada Yesus, yang pertama dilakukan Yesus adalah mengampuni dosanya. “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni”. Penyembuhan total akan menyusul setelah secara batiniah dan rohaniah kita disembuhkan terlebih dahulu. Akan tetapi, bapa, ibu, saudara-saudari, mengapa para ahli taurat meragukan-Nya? Itu karena mereka belum sepenuhnya menghargai Yesus sebagai guru baru. Mereka memang hadir dan turut menyaksikan bagaimana Yesus mengajar, tetapi hati mereka belum sepenuhnya belum menerima, bahwa Ia adalah Mesias yang dijanjikan Allah. Keraguan itulah yang membuat mereka mempertanyakan kuasa mengampuni Yesus. Yesus mengoreksi mentalitas ini, karena keraguan akan menghantar mereka lebih jauh, yakni tidak menerima sama sekali kehadiran-Nya sebagai kepenuhan janji keselamatan Allah. Para ahli taurat kurang senang mendengar Yesus mengeluarkan kata-kata mengampuni orang tadi. Mereka berpegang pada pendapat bahwa dosa hanya dapat diampuni oleh Allah. Tetapi mereka tidak melihat jalan apa yang dipakai Allah untuk memberi pengampunan. Para ahli taurat menutup pikiran mereka sendiri. Keraguan sering menjadi gerbang menuju dosa ketidakpercayaan. Meragukan kehendak Allah berarti meragukan niat baik-Nya. Padahal keselamatan itu hanya dapat diberikan kepada mereka yang berkehendak bebas. Mari kita lihat iman orang-orang yang membawa orang sakit tadi. Ketika mereka mendapatkan bahwa tidak ada jalan lagi untuk lebih dekat dengan Yesus, sebab banyak orang memenuhi jalan, sehingga orang lumpuh tadi tak dapat masuk. Maka, mereka mulai membongkar atap. Tidak kita ketahui siapa orang-orang itu. Tetapi Markus memberitahukan kepada kita bahwa Yesus “Melihat iman mereka” (ay. 5). Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah Markus hendak mengatakan bahwa iman orang-orang yang membawa si lumpuh itulah yang mendatangkan kesembuhan bagi si lumpuh? Jawabannya adalah ya. Lebih menarik lagi bila diamati bahwa dalam kisah ini sebenarnya Yesuslah yang menghubungkan iman orang-orang tadi dan keadaan si lumpuh. Ia melihat iman empat orang ini. Yesus menyapa orang lumpuh tadi denga kata “Nak!”. Ini merupakan nada yang penuh pengertian. Yesus menyapa orang yang tak bisa berjalan, kemanusiaan yang tak utuh, ciptaan yang cacat. Di sini iman keempat orang tadi membuat Yesus bisa mengatakan kepada si lumpuh bahwa kekuatan-kekuatan yang mengikat dan melumpuhkan itu bisa disingkirkan. Oleh siapa? Tak usah tergesa-gesa kita katakan oleh Yesus. Memang Yesus adalah Sang dokter ajaib, namun yesus melihat iman mereka Akan Allah. Iman itulah yang mulai melepaskan ikatan-ikatan dosa tadi. Solidaritas iman menjauhkan kekuatan-kekuatan jahat. Melihat kesembuhan si lumpuh, orang-orang takjub dan mengucapkan terpujilah Allah, seruan yang juga mengungkapkan rasa lega. Mereka juga mengalami kemerdekaan yang kini dinikmati oleh si lumpuh tadi. Maka, setelah mengampuni dosanya, Yesus mengatakan, “Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!” Dan orang lumpuh yang disapa itu pun sembuh dari kelumpuhannya. ‘Bangunlah’ berarti ‘bergeraklah’ atau ‘berjalanlah’. ‘angkatlah tempat tidurmu’ berarti kerjakanlah atau laksanakanlah apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabmu. ‘pulanglah ke rumahmu’ berarti kembali ke tugas pokok, panggilan, jabatan, fungsi yang telah anda terima, jangan menyeleweng atau memberontak, melainkan setialah. Peristiwa Injil hari ini kiranya mengingatkan kita akan bahaya iman tersebut. Amin. • Refleksi: Seperti ahli-ahli taurat, kita sering ragu akan panggilan Tuhan. Pertanyaan yang sering menggema di hati saya adalah apakah saya layak menjadi pekerja di kebun anggurnya? Pertanyaan ini perlahan - lahan mulai terjawab walaupun belum 100%. Dalam kehidupan sehari-hari, saya merasakan bahwa Tuhan benar-benar memanggil saya. Melaui studi, karya, kerasulan, doa bersama, dan doa pribadi, saya menemukan ada sesuatu kekuatan lain yang saya sendiri tidak mengerti. Segala tugas itu berjalan dengan lancar tanpa hanbatan apapun. Ini saya rasakan sebagai anugerah dari Tuhan. Berdasarkan pengalaman yang saya alami di atas, saya mulai sadar bahwa Tuhan benar-benar memanggil saya. Walaupun demikian, saya harus tetap berusaha. Melakukan segala tugas dengan senang hati dan tidak lupa berdoa. ini adalah komitmen yang saya buat demi tugas mulia itu. Doa adalah kekuatan bagi saya. Dalam doa pribadi maupun bersama, saya kembali diteguhkan dan dikuatkan. Melalui bacaan hari ini, saya kembali disadarkan untuk melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabmu saya sebagai calon imam. Melalui kalimat ‘Pulanglah ke rumahmu’ saya disadarkan untuk kembali ke tugas pokok, panggilan, yang telah saya terima, jangan menyeleweng atau memberontak, melainkan setialah. Inilah perintah Tuhan bagi sauya yang harus saya lakukan sekarang dan disini tanpa menunda-nunda waktu.

MINGGU BIASA V: Sakit? Butuh Dokter Dong…(Oleh: Erick M. Sila)

Minggu, 5 Februari 2012 Bacaan I : Ayub 7:1-4.6-7 Bacaan II : 1 Kor 9:16-19.22-23 Injil : Mrk 1:29-39 Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, dalam Injil hari ini kita mendengar bagaimana Yesus memyembuhkan ibu mertua Petrus yang sakit. Kemudian, walaupun hari suda mulai gelap, saat orang seharusnya beristirahat, Yesus masih bersedia menolong orang-orang yang sakit. “maka berkerumunlah seluruh penduduk kota itu di depan pintu. Ia menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam-macam penyakit dan mengusir banyak setan” (Mrk 1:33-34). Yesus bertindak sebagai seorang dokter. Dalam perkikop diatas, penginjil tidak menjelaskan mengapa Yesus mau berbuat demikian. Namun kita dapat menduga bahwa Yesus berbuat demikian karena ia mencintai orang-orang yang menderita. Yesus ingin membebaskan keluarga-keluarga yang mengalami penderitaan dengan menyembuhkan mereka yang sakit. Dengan demikian betullah apa yang dikatakan oleh St. Paulus dalam bacaan kedua hari ini yakni senasib dan sepenaggungan dengan orang yang menderita untuk menarik simpati mereka. Namun, Yesus berbuat lebih dari itu, Yesus malahan membebaskan mereka dari penderitaan, mengubah duka cita menjadi suka cita karena tertolong dari penyakitnya. Melalui pekerjaan yang mulia ini, Yesus tidak meminta imbalan jasa atau upah seperti Paulus yang juga tidak meminta upah demi pewartaan Injil. Yesus menyembuhkan mertua Simon Petrus. Tentu kita bisa membayangkan bagaimana senangnya Yesus bahwa ibu mertua Simon yang telah disembuhkan dari demamnya, kemudian melayani Yesus. Sikap “Tahu terima kasih” kepada Tuhan telah ditunjukkan oleh ibu mertua Simon. Kiranya juga patut kita kembangkan dalam kehidupan kita setiap hari. Selanjutnya kita telah membaca dan mendengar bahwa “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana” (Mrk 1:35). Penginjil tidak menjelaskan mengapa Yesus berdoa. Dalam bagian Injil lain, kita temukan juga bagaimana Yesus berdoa (Mrk 6:46; Mrk 14:32-34), yaitu pada saat-saat penting, saat orang-orang memahami secara keliru tugasnya sebagai Mesias. Maka ketika Yesus diberitahu bahwa Ia dicari orang-orang, Yesus malah pergi menghindar, pergi ke tempat lain. Di sini Yesus mau mengajarkan juga kepada kita agar kita tidak melekatkan hati kita pada suatu tempat, suatu benda dan sebagainya. Jika suatu tempat menyenangkan bagi kita, kita memilih tetap tinggal di situ, dan jika tidak menyenagkan, maka kita akan cepat-cepat pergi dari tempat itu. Yesus tidak demikian, Yesus tidak mau terikat pada suatu tempat, sebab tugas perutusan-Nya adalah untuk semua orang. Simon dan para murid yang lain rupanya mengharapkan bahwa Yesus tetap tinggal di Kapernaun dan memanfaatka kepopuleran-Nya karena Dia dapat mengusir banyak setan dan menyembuhkan banyak orang sakit. Kita juga terkadang seperti Simon dan para murid lainya itu. Kita selalu mengharapkan yang enak-enak saja. Kita lebih mengikuti orang-orang yang memiliki nama populer dan sebagainya. Akan tetapi, para murid belum mengerti akan misteri keselamatan yang sesungguhnya. “Marilah kita pergi ke kota-kota lain yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itulah Aku datang” (Mrk 1:38). Injil hari ini juga mengajak kita semua untuk mencontoh Yesus, bagaimana Dia “menyapa” orang-orang dengan menyembuhkan penyakit mereka; namun Ia juga tidak mau “diikat” supaya tetap bebas menjalankan tugas perutusan-Nya. Di sela-sela kesibukkan-Nya, Yesus selalu berdoa. Mudah-mudahan kita semua, umat sekalian yang hadir di sini juga tidak pernah melupakan doa, di tengah kesibukan sehari-hari, sebab dalam doa kita menemukan kekuatan baru, menemukan inspirasi baru umtuk lebih maju, lebih berkembang terutama dalam iman. Semoga dengan pewartaan Injil dan teladan Yesus Kristus kepada kita hari ini, tidak berlalu begitu saja, melainkan marilah kita merenungkannya di dalam hati kita masing-masing dan mengamalkannya dalam setiap langkah hidup kita. Semoga. Amin.

MINGGU BIASA III: Mendapat Tugas Mulia (Oleh: Erick M. Sila)

Minggu, 22 Januari 2012 Bacaan I : Yun 3:1-5.10 Bacaan II : 1 Kor 7:29-31 Injil : Mrk 1:14-20 Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasi dalam Kristus, dalam mengelola suatu perusahaan, posisi yang cukup menentukan keberhasilan adalah manajemen personalia. Kepala bidang personalia sering menjadi titik keberhasilah atau kejatuhan usaha itu. Andaikata penerimaan pegawai tak dijalankan dengan benar, bukan tidak mungkin perusahaan itu goyah dan kedudukan si kepala personalia itu goncang. Yesus menyadari pentingnya memiliki rekan kerja yang baik. Namun kriteria yang menentukan di sini bukanlah kualitas intetelektual tetapi hati yang terbuka terhadap kehendak Allah. Maka orang-orang yang mendapat perhatian Yesus adalah Petrus dan teman-temannya (Andreas saudaranya, Yakobus anak Zebedeus dan saudaranya Yohanes) dari seputar danau Tiberias. Apakah yang diharapkan dari mereka? “Hati yang penuh cinta”. Ketika keempat murid itu dipanggil Yesus, mereka meninggalkan jalanya dan mengikuti Yesus. Para murid itu percaya bahwa panggilan Tuhan itu merupakan sesuatu yang sangat berharga melebihi permata. Kisah berikut ini kiranya berguna bagi kita semua, mari kita simak baik-baik! Adalah seorang rahib yang sedang melakukan perjalanan jauh. Di tengah jalan ia menemukan sebuah batu permata yang sangat berharga. Ia mengambil dan menyimpannya. Suatu hari ia berjumpa dengan seorang pengembara. Ketika mereka tengah duduk bersama untuk membagi bekal perjalanan, tampaklah batu permata itu oleh si pengembara. Pengembara meminta batu permata itu dan tanpa pikir panjang sang rahib memberikannya. Pengembara itu melanjutkan perjalanannya dengan penuh sukacita karena sangat mahal harganya. Namun pengembara itu menyimpan suatu pertanyaan dalam hatinya. Ketika bertemu kembali dengan sang rahib, ia mengembalikan batu itu. Ia bertanya “Tuan, tolong berikanlah kepada saya sesuatu yang jauh lebih berharga dari batu ini. Sesuatu yang memampukan tuan membagikan batu yang berharga ini kepada saya”. Manusia adalah makhluk mencari. Ada orang yang mencari harta dan yang lain mencari nama atau popularitas. Kita mencari apa saja yang membuat kita bahagia. Kristus pun mengajak kita untuk melakukan pencarian sebagaimana dilakukan para murid di danau Tiberias. Pencarian mereka akhirnya sampai pada titik yang paling tinggi dan mulia. Mereka berjumpa dengan Yesus dan Ia memilih mereka menjadi Allat Kerajaan Allah. Menerima kerajaan Allah (seperti yang dialami oleh para murid) berarti rela untuk mengubah diri secara utuh dan total. Cara hidup kita harus diselaraskan dengan tuntutan dan cara hidup Yesus sendiri (dari penjala ikan menjadi “penjala manusia”). Dengan demikian, nilai-nilai Kerajaan Allah menjadi nilai tertinggi dalam kehidupan sehari-hari. Perjuangan untuk mewujudkannya menjadi arah hidup yang tidak dapat digantikan oleh apa pun yang lain. Keadilan, cinta kasih, kejujuran, kedamaian dan lain-lain merupakan perwujudan Kerajaan Allah dalam kehidupan kita. Nilai-nilai inilah yang dapat menciptakan kebahagiaan dan ketentraman hidup manusia. Tetapi dalam kenyataanya, justru nilai-nilai ini sulit ditemukan dalam dunia sekarang ini. Dalam situasi inilah terletak pentingnya panggilan hidup seorang Kristen untuk memperjuangkan kehadiran nilai-nilai Kerajaan Allah itu di lingkungan masing-masing. Apabila kita ingin mendapatkan sesuatu yang belum pernah kita dapatkan, maka kita harus melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakuakan! Demi sesuatu yang lebih tinggi nilainya. Janganlah takut, Tuhan Yesus bersama kita. Semoga…AMIN. •Refleksi: Dalam kehidupan sehari-hari kita terkadang mengabaikan tugas yang telah Tuhan percayakan kepada kita. Kita selalu tergoda untuk mencari sesuatu di luar diri-Nya. Pengalaman semacam ini sering saya alami. Persoalan studi, karya, doa, dan sebagainya, terkadang membuat saya lupa akan tugas utama saya sebagai calon imam. Terkadang Keadilan, cinta kasih, kejujuran, kedamaian dan lain-lain merupakan perwujudan Kerajaan Allah dalam kehidupan kita, jarang kita jumpai di lingkungan maupun komunitas kita. Namun sebagai calon imam saya sadar bahwa itu adalah tugas saya. Perwujudan Kerajaan allah itu pertama-tama harus dari diri saya sendiri. Saya harus terus mencari apa yang dikehendaki Allah dalam diri saya. Kristus pun mengajak kita untuk melakukan pencarian sebagaimana dilakukan para murid di danau Tiberias. Pencarian mereka akhirnya sampai pada titik yang paling tinggi dan mulia. Hal inilah yang memotifasi saya untuk terus berjuang menempuh panggilan suci ini. Menerima kerajaan Allah (seperti yang dialami oleh para murid) berarti saya harus rela mengubah diri secara utuh dan total. Cara hidup saya harus diselaraskan dengan tuntutan dan cara hidup Yesus sendiri (dari penjala ikan menjadi “penjala manusia”). Dengan demikian, nilai-nilai Kerajaan Allah menjadi nilai tertinggi dalam kehidupan sehari-hari. Perjuangan untuk mewujudkannya menjadi arah hidup yang tidak dapat digantikan oleh apa pun yang lain. Ini adalah Tugas mulia yang harus saya lakukan sekarang dan di sini, “Hic at Nunc”.

MINGGU BIASA II: Kita Dipanggil Mengikuti Kristus (Oleh: Erick M. Sila)

: Minggu, 15 Januari 2012 Bacaan I : 1 Sam 3:3b-10.19 Bacaan II : 1 Kor 6:13c-15a.17-20 Injil : Yoh 1:35-42 Kita Dipanggil Mengikuti Kristus Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pada hari minggu ini Injil mengisahkan kepada kita tentang Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama. Kita semua yang hadir di sini dipanggil menjadi murid-murid-Nya, dan memang kita sudah menjadi murid-murid Kristus ketika kita dibabtis. Apa yang harus kita lakukan sebagai murid-murit Kristus? Menjadi Kristen itu ternyata tidak mudah. Memang kalau hanya menjadi Kristen-Kristenan atau katolik-katolikan saja itu mudah, tetapi mengikuti Kristus dalam arti yang sebenarnya ternyata tidak gampang. Ada konsekuensi dalam hal mengikuti Yesus. Seperti Yohanes dan Andreas saudara Simon Petrus dalam Injil tadi. Mereka langsung mengikuti yesus tanpa pikir panjang. Mereka tidak memikirkan, rumah, keluarga, kekayaan maupun pekerjaan mereka. Hal ini mau menunjukkan kepada kita bahwa Yesus harus menjadi segala-galanya, karena semua yang kita miliki dan cintai di dunia ini sudah ada di dalam Yesus. Oleh karena itu, untuk dapat mengikuti Yesus, orang harus berani meninggalkan segala sesuatu yang dicintai di dunia ini demi Dia. Bukan hanya rumah, keluarga, kekayaan maupun pekerjaan dan sebagainya, bahkan dirinya sendiri harus ia tinggalkan. Artinya, kita harus lebih mengutamakan kepentingan Yesus, kepentingan Tuhan daripada kepentingan kita dan keluarga kita yang kita cintai. Jadi, bapa, ibu, saudara-saudara yang terkasi dalam Kristus, jangan kita mengartikannya secara harafiah, setelah mendengar Injil ini, sesampainya di rumah lalu Minggat , meninggalkan rumah, keluarga, dan sebagainya. Ajaran Yesus mengandung pengertian, bahwa kita harus mencintai Tuhan dan sesama kita, tentunya termasuk mencintai orang tua, anak, istri, suami dan sebagainya. Tetapi mencintai Tuhan harus berada pada urutan pertama. Oleh karena itu, jika kita memperhatikan salib, kita akan menemukan apa arti dari salib itu. Salib adalah lambang cinta. Cinta dilambangkan dengan salib. Coba kita sejenak memperhatikan salib itu. Kayu yang tegak (vertikal) menunjukkan hubungan cinta antara Allah dan manusia: mencintai Tuhan dengan seluruh tenaga dan akal budi. Kayu yang melintang (horisontal) menunjukkan hubungan dengan sesama: mencinta semua manusia sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Kalau bapa, ibu, dan saudara-saudari perhatikan dengan baik, kayu yang vertikal itu lebih panjang dari pada kayu yang horisontal. Ini berarti bahwa mencintai Tuhan harus mendapat porsi yang lebih banyak atau lebih diutamakan, walaupun mencintai Tuhan itu tidak dapat dilepaskan dari mencintai sesama manusia. Karena salib, antara yang vertikal dan yang horisontal tidak dapat dipisahkan. Bapa, ibu saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, untuk mengikuti Yesus kita tidak boleh berpikir tentang hal yang sulit-sulit. Cukup yang sederhahana-sederhana saja. Cukup dengan kehadiran kita di gereja setiap hari Minggu. Itu sungguh luar biasa. Dalam kesempatan ini juga saya ingin berterima kasih kepada Ketua Dewan Stasi (KDS) dan para pengurus stasi, kepada Asmika, Areka, Mudika dan semua umat stasi ini yang telah banyak berkorban tanpa pamrih dalam memajukan stasi tercinta ini. Semoga dengan ajaran Yesus yang baru saja kita dengar, semakin banyak anggota Gereja yang berani berkorban tanpa pamrih untuk memuliakan nama Tuhan dalam pelayanan di stasi ini. Amin. •Refleksi: Kita semua dan secara khusus saya sebagai seorang calon imam dipanggil untuk mengikuti Yesus. Memang, menjadi pengikut Kristus bukanlah pekerjaan yang sangat mudah. Di sini, dituntut militansi iman. Untuk mengikuti Kristus saya harus berani meninggalkan segala sesuatu yang saya cintai di dunia ini demi Dia. Bukan hanya rumah, orang tua, kakak dan adik, sahabat, bahkan diri saya sendiri harus saya tinggalkan. Segala keegoisan pribadi saya dan sebagainya. Artinya, saya harus mengutamakan kepentingan Yesus, kepentingan Tuhan daripada kepentingan saya dan kepentingan keluarga yang saya cintai. Saya yakin bahwa Yesus lebih mencintai saya dariapada mereka. Kesadadaran akan panggilan Tuhan itulah yang utama. Sadar berarti tahu apa yang dikehendaki-Nya. Sebagai seorang mahasiswa dan juga sebagai calon imam, saya harus mengikuti peraturan yang ada. Peraturan bagi saya bukanlah sesuatu yang terpaksa melainkan sarana bagi saya untuk menemukan diri yang sebenarnya. Terutama menemukan kehendak Tuhan. Maka melalui Injil hari ini, saya semakin sadar akan panggilan Tuhan yang telah saya terima dari-Nya. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi calon imam yang baik di masa depan. Aku yakin Tuhan tidak akan membiarkan saya berjalan sendirian, “Deus Meus et Omnia”.

MINGGU ADVEN IV: MENJADI SEORANG HAMBA (Oleh: Erick M. Sila)

MINGGU, 18 DESEMBER 2011 Bacaan I : 2 Sam 7:1-5,8b-12,14a,16 Bacaan II : Rm 16:25-27 Injil : Luk 1:26-38 Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, sebagai mahasiswa sekaligus frater, saya pernah mengalami rasa malas dalam belajar, kadang bersemangat, kadang kurang bergairah dalam pelayanan. Sore itu saya merasakan tingginya semangat belajar dan besarnya semangat pelayanan. Pada waktu yang sama kebetulan salah seorang frater mengalami demam tinggi dan harus dibawa ke rumah sakit. Frater tersebut adalah satu angkatan saya. Saya menghadapi pilihan yang sama-sama kuat: mau belajar atau merelakan waktu untuk mengantar frater tersebut ke rumah sakit. “Kan masih banyak frater yang bisa mengantarnya ke rumah sakit” pikirku dalam hati. Pertimbangan dari salah seorang teman mengarahkan saya untuk ikut mengantar frater yang sakit itu ke rumah sakit. Saya ingin sedikit mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain. Maka, sore itu aku bersama beberapa teman mengantar saudara yang sakit tersebut ke rumah sakit. Setelah pulang dari rumah sakit, aku dan salah seorang frater diminta mengantarkan computer komunitas yang rusak ke tukang reparasi. Apa yang kemudian terjadi? Karena suatu alasan, ternyata komputer itu tidak dapat diperbaiki juga. Kami merasa melakukan pekerjaan yang sia-sia meski sudah mengorbankan banyak waktu. “Tuhan apa sih mau-Mu? Engkau ingin aku berani berkorban untuk kepentingan yang lebih baik, tetapi apa hasilnya?” keluh saya. Namun sewaktu melangkah gontai kembali ke kamar, saya seolah mendengar suara lembut, “lho, Aku tidak meminta kamu berhasil kan? Aku Cuma meminta kamu melakukan kehendak-Ku. Soal hasil itu urusan-Ku…”. Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, saat itulah saya merasakan Bunda Maria sungguh menjadi guru dalam menerima dan melakukan kehendak Allah. Allah tidak pernah menjanjikan hasil. Ia hanya punya suatu rencana dan meminta semua orang bekerja sama dengan-Nya. Allah meminta ketaatan dan kerelakan kita untuk melakukan kehendak-Nya. Allah tidak meminta Maria menjadi ibu yang sukses. Allah hanya meminta maria untuk mengandung dan melahirkan putera-Nya. Maria menghayati panggilan itu dari awal hingga akhir. Karena itu, Allah menghargai kesetiaan dan kerelaannya. Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, demikian juga dalam hidup kita. Kitapun diajak untuk pertama-tama percaya kepada-Nya. Ia mengajar kita untuk tidak terpancang pada sukses. Sebaliknya, kita diajak untuk terbuka akan suatu rahmat yang tak terbatas karena kesetiaan yang kita perjuangkan. Mari kita percaya bahwa Allah membuat sesuatu rencana yang jauh lebih besar dari pengertian kita. Bapa, ibu, saudara-saudari yang terkasi dalam Kristus, Semoga, dengan kesetiaan Bunda Maria dalam menjawab panggilan Allah yang ditunjukkan dalam Injil hari ini, menyadarkan kita orang yang kurang setia dan kurang taat ini. Semoga hari demi hari, kita semakin setia dengan tugas panggilan kita masing-masing, bukan untuk mengejar sukses melainkan mengejar rahmat yang tak terbatas yang telah Ia berikan kepada kita. Allah sanggup melakukan lebih dari apa yang kita pikirkan. Amin. •Refleksi: Mengejar kesuksesan dalam hidup adalah fenomena umum yang kita jumpai dalam setiap kegiatan hidup manusia. Manusia sering kali lebih mementingkan diri sendiri daripada memperhatikan sesamanya. Keegoisan semacam ini adalah masalah yang juga dialami oleh umat beriman Kristiani. Hal ini nampak sekali di stasi tempat dimana saya mengadakan kerasulan. Banyak umat lebih mementingkan kerja dari pada datang ke gereja setiap hari Minggu. Bagi kebanyakan umat, kerja lebih penting. Kesuksesan dan gengsi adalah yang paling utama. Berangkat dari fenomena umat tersebut, saya mencoba menyusun sebuah renungan yang kiranya dapat menyadarkan umat untuk lebih mengejar hal-hal yang kekal dan bukan yang sifatnya sementara saja. Tokoh yang menjadi teladan dalam Injil hari ini adalah Bunda Maria. Semoga teladan ketaatan yang ditunjukkan Bunda Maria dalam Injil hari ini, menyadarkan kita untuk tidak terpancang pada sukses saja, melainkan, diajak untuk terbuka akan suatu rahmat yang tak terbatas karena kesetiaan yang diperjuangkan. Namun sebelum sabda Allah ini sampai kepada mereka, pertama-tama harus menyadari bahwa saya adalah calon imam dan itu adalah tanggung jawab saya untuk mewartakan sabda Allah. Tuhan yang harus menjadi nomor satu.

MINGGU ADVEN II: Seruan Pertobatan (Oleh: Erick Sila)

MINGGU, 4 DESEMBER 2011 Bacaan I : Yes 40:1-5,9-11 Bacaan : 2Ptr 3:8-14 Injil : Mrk 1:1-8 Bapa, ibu, saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus, Minggu ini adalah Minggu Adven II. Sebelumnya saya mau bertanya kepada bapa, ibu, saudara-saudara sekalian apa itu Adven? Istilah “ADVEN” berasal dari bahasa Latin “Adventus” yang artinya ialah “kedatangan dengan semarak”. Mulai dari hari Minggu keempat sebelum tanggal 25 Desember sampai pada tanggal tersebut, Gereja memperingati dan mengenangkan bahwa Tuhan lagi datang. Memperingati dan mengenangkan suatu misteri iman dalam perayaan liturgis tak pernah merupakan ingatan semata-mata. Sebab peristiwa-peristiwa penyelamatan yang diperingati itu, selalu masih menyangkut kita sekarang ini. Pada saat misteri itu dirayakan, kita dilibatkan dalam peristiwa penyelamatan yang dikenangkan. Maka pada saat itu juga kita mengalami penyelamatan. Jadi, dalam suatu perayaan liturgis, kita menghayati peristiwa itu bukan dalam pikiran saja tetapi juga dalam kenyataan. Kalau begitu hal merayakan “masa Adven” berarti: mengalami sungguh-sungguh kerinduan akan Allah, serta bertobat, berbalik kepada-Nya. Dalam merayakan Adven kita menghayati bagaimana Tuhan makin lama makin dekat kepada kita di dalam kegelapan kita. Oleh karena itu, banyak bacaan dalam masa Adven diambil dari kitab-kitab para Nabi, penunggu yang agung itu (Yesus). Bapa, ibu saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus, ada tiga tokoh besar yang paling ditonjolkan dalam liturgi masa Adven, yakni Nabi Yesaya, Yohanes Pembabtis, dan Bunda Maria. 1). Kitab Nabi Yesayalah yang dalam masa Adven paling sering dipakai, karena paling kaya akan teks-teks mesianis. Yesaya memiliki keyakinan iman yang besar: ia berkeyakinan teguh bahwa Allah akan menganugerahkan Sang Kristus serta keselamatan-Nya kepada kita. Keyakinan iman ini membuat Yesaya menemukan kata yang juga bagi manusia modern cocok sekali untuk mengungkapkan kerinduan akan Tuhan, “kuatkanlah hatimu, jangan takut, itu Allahmu!”. Lagu Adven yang tekenal “Datanglah Tuhan Allahku, selamatkanlah umat-Mu” (MB no. 322) juga diambil dari kitab Nabi Yesaya. 2). Tokoh yang kedua ialah Yohanes Pembabtis: dalam hati, umat Kristen menempatkan diri di tepi sungai Yordan, sambil menjalani dengan penuh perhatian suasana penantian dengan suka cita tetapi juga seraya mengindahkan peringatan serius yang diperuntukkan bagi kita. 3). Akhirya akan kita lihat juga dalam masa Adven (pada minggu-minggu yang akan datang) tentang persiapan paling manusiawi, yaitu bagaimana Sang Bunda menghayati kedatangan Dia yang dinanti-nantikan itu. Di dalam rahimnya dan juga dalam iman, seperti dikatakan dalam Kitab Suci. Bapa, ibu saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, kita akan melihat peringatan serius apa yang diserukan oleh Yohanes Pembabtis kepada kita hari ini, melaluai bacaan yang telah kita dengarkan tadi. Peringatan itu ialah: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibabtis dan Allah akan mengampuni dosamu”. Pada Minggu Adven kedua ini, kita kembali diajak untuk bertobat. Ajakan pertobatan yang diserukan oleh Yohanes ini, mengajak kita untuk mempersiapkan diri kita, agar menjadi anak-anak Allah. Muncul suatu pertanyaan di dalam hati kita. Masikah kita peduli dengan pertobatan di zaman sekarang ini? Seruan Yohanes Pembabtis ini sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Tuhan bagi umat-Nya. Kehadiran Yohanes dalam memberikan kesaksian mengenai Yesus Sang Terang, membantu kita untuk melihat dan menyaksikan bahwa bukan dia terang itu, tapi Yesus-lah terang itu. Dalam hal ini, kita diharapkan untuk menjawabnya dengan iman. Iman kita itu adalah jawaban atas pewartaan dari Yohanes tentang Yesus sebagai Mesias. Iman kita hendaknya ditandai dengan sikap tobat. Sikap tobat itu merupakan wujud dari iman kita kepada-Nya. Bertobat berarti kembali kepada Yesus yang adalah terang, jalan, kebenaran dan hidup. Bertobat dan dibabtis serta pengampunan dosa adalah proses hidup dalam diri seorang Kristen untuk menjadi anak Allah. Lewat seruan Yohanes inilah kita sungguh-sungguh diingatkan kembli untuk bersatu dengan Allah, ketika kita jatuh dalam dosa, ke dalam kegelapan hidup, dan di saat-saat kita lupa akan Tuhan dalam hidup kita. Yohanes Pembabtis adalah seorang utusan Allah dan utusan itu harus kita terima dan dengarkan dalam hidup kita. Kita harus berani bertobat, meninggalkan kebiasaan buruk kita dan menjadikan hidup kita baru kembali. Menjalani dan menghidupi seruan Yohanes ini, kita orang Kristen dengan gembira dan bangga nantinya menyambut kedatangan Kristus penyelamat dunia. Oleh karena itu, dengan dan melalui Sabda Tuhan ini, mari kita berusaha dan berjuang untuk menjadi pewarta Kristus dalam hidup kita baik sebagai gembala maupun sebagai umat dalam setiap tugas dan tanggung jawab kita masing-masing. Dengan demikian kita bertobat dan menggapai jalan keselamatan yang telah Ia janjikan kepada kita. •Refleksi: Kerasulan yang kami laksanakan setiap minggu I dan III dalam bulan adalah kesempatan yang baik bagi kami. Melalui kerasulan ke stasi, saya sebagai seorang calon imam menyadari bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk mengembangkan diri demi perkembangan panggilan yang sedang saya jalani. Selain itu, kerasulan ke stasi merupakan kesempatan bagi saya untuk berjumpa dan merasakan kehidupan umat secara langsung. Dari pertemuan dan perjumpaan tersebut banyak hal yang saya temukan di stasi. Pertama, kurangnya katekese di stasi sehingga umat belum memahami sepenuhnya mengenai hari-hari besar dalam Gereja terutama masa Adven. Kedua, rasa ingin tahu umat semakin besar sehingga memudahkan untuk meberikan katekese yang berguna. Ini adalah lahan yang baik untuk menaburkan Sabda Allah kepada umat. Berdasarkan data serta masalah yang dihadapi oleh umat di atas, saya mencoba menyusun sebuah katekese yakni dalam bentuk kotbah. Semoga dengan kotbah ini, umat sedikit lebih memahami apa itu Adven, bacaan-bacaan yang digugunakan selama masa Adven serta tokoh-tokoh penting yang ditonjolkan selama masa Adven. Ini adalah bentuk pertobatan sederhana yang saya lakukan. Kesadaran akan kebutuhan umat perihal pengenalan akan Allah adalah tugas dan tanggung jawab saya sebagai calon imam. Umat harus dibawa untuk lebih dekat kepada Allah.